Akmal terbangun seperti biasa lalu melihat jam dinding. Sudah pukul 
tujuh pagi, namun dia masih enggan untuk memulai hari. Padahal dia ada janji
 dengan gadis itu, sejam lagi, di salah satu kafe di Sudirman. Dengan terpaksa, 
dia bangun perlahan, menggaruk kepalanya tanpa alasan yang jelas, lalu 
mencapai tuala dan masuk kamar mandi.
            Sebagai sebuah cerita, itu sudah jadi. Cukup bagus. Juga mudah untuk
 dibuat. Akan tetapi, jika cerita itu dilengkapi dengan analogi atau metafora, maka
 hasilnya akan lebih baik. Penjelasan singkat tentang keduanya: Analogi adalah 
perbandingan yang setara atau sesuai antara dua hal; sementara metafora adalah 
penggunaan kata yang tidak sesuai dengan makna sebenarnya (kiasan). Contoh 
jelasnya boleh kita terapkan langsung pada narasi di atas.
            Pagi itu Akmal terbangun seperti keledai tua. Dia lantas melirik jam 
dinding kecil yang menggantung di punggung lemari bajunya. Sudah pukul tujuh 
pagi, dengusnya pada diri sendiri, sambil mengingat janji dengan gadis berambut
 jagung itu, sejam lagi, di salah satu kafe tua di jalan Sudirman. Dengan kelopak
 mata yang masih tertutup, dia bangkit perlahan, menggaruk kepalanya tanpa 
alasan yang jelas, lalu mencapai tuala dan masuk ke bilik mandi.
            Rasanya berbeza, kan?
Perhatikan perbezaan narasi itu dengan yang sebelumnya. Ada tambahan kata 
“keledai tua” untuk menggambarkan kondisi bangun pagi Akmal. Itulah analogi. 
Selain kata “seperti”, analogi juga bisa dihantarkan dengan menggunakan kata
 “bagai, laksana, bak, ibarat, layaknya,” tinggal pilih mana yang paling cocok. 
Atau, bisa membentuk analogi dengan menambahkan prefiks “se-“ pada kata 
sifat yang ingin dianalogikan. Misalnya: kelopak matanya seberat batu bata, 
senyumnya sehangat angin pantura, dan sebagainya.
Dalam narasi di atas juga terdapat tambahan frasa “punggung lemari” dan
 “berambut jagung”. Keduanya adalah metafora. Perbedaan antara metafora 
dengan analogi, iaitu, metafora secara langsung menggantikan posisi kata atau 
hal yang hendak digambarkan, sedangkan analogi tetap menyertakan hal tersebut. 
Jelasnya, “punggung lemari” digunakan penulis untuk merujuk kepada bagian 
belakang lemari baju; “rambut jagung” digunakan untuk menggambarkan rambut
tipis yang keriting dan kecokelatan.
Di sekitar kita ada banyak metafora dan analogi. Penggunaan keduanya dalam sebuah 
karya fiksi tidak secara otomatis membuat karya tersebut indah. Beberapa analogi dan 
metafora yang sudah basi justru akan menimbulkan rasa jemu di benak pembaca. Contoh
 yang sudah basi: mata helang (untuk menggambarkan mata yang punya tatapan tajam), 
bodi biola (untuk menggambarkan tubuh perempuan yang langsing), hidung burung hantu 
(untuk menggambarkan hidung yang mancung dan melengkung), jinak-jinak merpati, dan
 lainnya.
Untuk menghindari kejemuan pembaca, penulis harus menelurkan metafora atau analogi
 yang lebih segar. Tentu, perlu latihan yang tak bosan-bosan, dalam waktu yang tidak 
sebentar, untuk memiliki kemampuan akrobat bahasa tersebut. Tapi hasilnya akan
 sepadan. Kelak, kalau sudah mahir bermetafora dan beranalogi, narasi dan deskripsi 
yang dirajut oleh seorang penulis pasti menjadi lebih cantik, sekaligus punya lapisan 
makna yang menarik untuk digali.
Cara terbaik untuk belajar analogi dan metafora tentu dengan banyak membaca, 
mengamati, sembari merenungi. Kita juga bisa menandai metafora atau analogi yang 
ada dalam buku penulis lain yang menurut kita menarik. Improvisasi metafora atau
analogi tersebut, bumbui dengan gaya kita sendiri, jika bisa. Yang pasti, jangan main 
salin dan tempel saja. Menjiplak metafora atau analogi yang dipakai penulis lain memang 
tidak haram, tetapi kurang asyik, kurang baik, sebab itu boleh mematikan daya kreativiti
kita sendiri.
Jadi, mulailah menulis dengan analogi dan metafora. Latih diri sendiri dengan cara menulis 
kalimat atau paragraf dengan maksud yang sama namun memakai analogi dan metafora 
yang berbeda. Lihat kembali contoh di atas. Selanjutnya, teruslah buat dirimu lebih pintar, 
lebih cerdik, lebih sabar. Sebab seorang penulis yang pengetahuannya sedikit tidak akan 
pernah mampu memukau pembaca yang terus berkembang.